Benarkah Vape Lebih Aman Daripada Merokok?

by Kristihandaribullet
Share this article
Reviewed by dr. Sarah Josephine
Benarkah Vape Lebih Aman Daripada Merokok?
Benarkah Vape Lebih Aman Daripada Merokok?

Rey, 22 tahun, memutuskan berhenti merokok demi hidup lebih sehat. Namun, dalam prosesnya, ia beralih ke vape karena merasa mulutnya jadi “tak berasa asam” dan percaya bahwa vape lebih aman dibanding rokok. Tapi, benarkah vape adalah solusi yang lebih baik?

Meningkatnya popularitas rokok elektrik atau vape, khususnya di kalangan anak muda, menjadi tren yang memprihatinkan.


Meskipun larangan merokok terpampang nyata di hampir seluruh ruang publik, jumlah perokok terus meningkat. Data Survei Kesehatan (SKI) 2023 menunjukkan bahwa pengguna vape di Indonesia meningkat 10 kali lipat.


Indonesia bahkan menjadi pengguna vape tertinggi di dunia. Sekitar 25% masyarakat pernah menggunakan rokok jenis ini. Banyak yang beranggapan bahwa vape adalah alat transisi untuk berhenti merokok karena menganggapnya lebih aman dibandingkan rokok tembakau.



Apa itu vape?


Vape adalah perangkat yang memanaskan cairan untuk menghasilkan uap. Cairan ini biasanya mengandung nikotin, perasa, seperti aroma buah atau manis-manisan, dan bahan kimia lainnya.


Vape dioperasikan dengan baterai dan bentuknya dapat menyerupai rokok, cerutu, pipa, pena, atau USB drive.


Baik merokok maupun vaping memiliki efek samping dan risiko. Efek kesehatan jangka panjang dari vape belum sepenuhnya dipahami, tetapi sains menunjukkan bahwa vape bukanlah alternatif yang aman untuk merokok.



Bahaya vape bagi kesehatan




Banyak orang menganggap vaping lebih aman daripada merokok. Meskipun benar bahwa aerosol vape tidak mengandung semua kontaminan dalam asap tembakau, tetap saja vape tidak aman.


Berikut ini beberapa alasannya:


1. Mengandung nikotin

Nikotin adalah zat utama dalam rokok tembakau maupun vape. Zat ini dapat meningkatkan tekanan darah dan memacu adrenalin, yang memicu detak jantung, sehingga berisiko menyebabkan serangan jantung. 


Nikotin sangat adiktif dan dapat membahayakan perkembangan otak remaja, anak-anak, dan janin pada perempuan yang menggunakan vape saat hamil. Beberapa jenis vape membuat penggunanya terpapar lebih banyak nikotin daripada rokok tembakau.


Nikotin mengaktifkan reseptor di otak, yang melepaskan zat kimia otak yang disebut dopamin yang membuat Anda merasa senang. Dopamin adalah bahan kimia otak yang membuat Anda merasa baik.


Respons kesenangan yang menyenangkan ini merupakan komponen utama dari proses kecanduan nikotin. Dopamin juga diketahui memiliki peran dalam peningkatan agresi, pengendalian impuls, dan kecanduan.


Semakin sering menggunakan vape, semakin tubuh terbiasa dengan nikotin. Ketika kadar nikotin dalam tubuh memudar, otak menginginkan lebih banyak dopamin. Kecanduan nikotin dapat terjadi dengan cepat. Ini memungkinkan pengguna dapat mengalami gejala putus zat ketika tidak menggunakannya.


2. Mengandung zat berbahaya

Selain nikotin, uap rokok elektrik mengandung zat-zat yang berpotensi berbahaya, seperti diasetil (zat kimia yang terkait dengan penyakit paru-paru serius), zat kimia penyebab kanker, senyawa organik yang mudah menguap, dan logam berat, seperti nikel, timah, dan timbal.


Pengguna vape menghirup kontaminan beracun ini, dan orang yang bukan pengguna vape berisiko terpapar secara tidak langsung.


3. Cairan yang digunakan membahayakan tubuh

Cairan yang digunakan dalam vape dapat berbahaya, bahkan di luar tujuan penggunaannya. Terdapat ribuan cairan dengan lebih dari 17.000 varian rasa yang tersedia saat ini di pasaran.


Oleh karena itu, penggunaan vape di masyarakat mengakibatkan paparan terhadap ribuan kombinasi bahan kimia yang berbeda, dan dosis bahan kimia yang bervariasi.


Anak-anak dan orang dewasa dapat mengalami keracunan karena menelan, menghirup, atau menyerap cairan melalui kulit atau mata mereka. 


4. Cedera paru-paru

Vape sering kali dikaitkan dengan ribuan kasus cedera paru-paru serius, beberapa di antaranya mengakibatkan kematian. Meskipun penyebabnya belum dipastikan, Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) merekomendasikan penghentian penggunaan rokok elektrik. Pada Februari 2020, CDC mengonfirmasi 2.807 kasus cedera paru-paru terkait penggunaan vape. 


“Popcorn lung” atau bronkiolitis obliterans adalah penyakit paru yang diakibatkan oleh inhalasi zat kimia diasetil, yang akan menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada alveolus sehingga terjadi penebalan dan penyempitan saluran pernapasan. Gejala yang dapat dialami adalah batuk, mengi, sesak napas, menyerupai gejala pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).


Pada jangka panjang, vape dapat berisiko terhadap kesehatan, seperti


  • merusak paru-paru
  • melepaskan radikal bebas, yang mendorong perkembangan kanker ke dalam tubuh
  • melemahkan sistem kekebalan tubuh
  • menunda perkembangan otak pada janin, anak-anak, dan remaja

**


Baik rokok tembakau maupun vape memiliki dampak negatif yang sama pada tubuh, seperti kerusakan paru-paru dan peningkatan risiko kanker.


Meskipun vape dapat mengurangi jumlah tar dan bahan kimia lain yang dihirup, produk tersebut tetap dapat meningkatkan ketergantungan pada nikotin.


Jika Anda ingin berhenti merokok, konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan metode yang paling tepat dan aman bagi kesehatan Anda. Kunjungi Klinik GWS Medika, klinik kesehatan di Jakarta, untuk memulai langkah sehat Anda.

ReferenceAyo Sehat Kementrian Kesehatan. Diakses pada 2024. Bahaya Nge-Vape: Memahami Risiko di Balik Asap Modern. Cleveland Clinic. Diakses pada 2024. Vaping. Healthline. Diakses pada 2024. Nicotine and Dopamine. Hopkins Medicine. Diakses pada 2024. 5 Truths You Need to Know About Vaping. Lung.org. Diakses pada 2024. Popcorn Lung: A Dangerous Risk of Flavoured E-Cigarette Medical News Today. Diakses pada 2024. Vaping vs Smoking. P2PTM Kementrian Kesehatan. Diakses pada 2024. Perokok Aktif di Indonesia Tembus 70 Juta Orang Mayoritas Anak Muda. Emily Banks, Amelia Yazidjoglou, Grace Joshy, Electronic cigarettes and health outcomes: epidemiological and public health challenges, International Journal of Epidemiology, Volume 52, Issue 4, August 2023, Pages 984–992.