Oversharing dan Cara Menghentikannya

oleh Kristihandaribullet
Bagikan artikel ini
Ditinjau oleh dr. Muthia Trisa Nindita
Oversharing dan Cara Menghentikannya
Oversharing dan Cara Menghentikannya

Manakah tipikal Anda? Suka berbagi informasi tentang pribadi saat stres karena tidak dapat mengendalikannya? Atau, berbagi detail hal paling pribadi tentang hidup Anda baik kepada orang asing, orang yang tidak Anda kenal atau bahkan bukan teman curhat Anda?

Hmm … jangan-jangan Anda sedang oversharing atau overexplaining. Seseorang dapat dikatakan oversharing bila ia tak segan ngoceh tentang segala hal untuk melampiaskan isi hatinya, amarah atau rasa kesal.


Atau, apa saja tentang dirinya. Sering kali, bahkan tanpa memperhitungkan kawan bicara merasa nyaman atau tidak saat mendengarkan. Setelah semua itu, ia merasa malu dan menyesal atas semua percakapan.


Memang, awalnya, oversharing terlihat menyenangkan. Melegakan. Kemarahan atau kekesalan terlampiaskan.


Namun, oversharing memiliki konsekuensi negatif bagi kesehatan mental, loh! Terus-menerus oversharing berpotensi menimbulkan lebih banyak masalah, seperti meningkatkan kecemasan, serta merasa terisolasi dan malu.


Kawan bicara bisa saja tampak mendengarkan. Padahal hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Atau, warganet yang membaca kisah panjang lebar di media sosial justru mencibir. Ujung-ujungnya, jadi buah bibir.


Setelah memulainya, mungkin sulit menghentikannya; semakin sering melakukannya, semakin sulit menghilangkannya.



Mengapa kita terus melakukannya?




1. Berusaha membuat hubungan segera akrab

Beberapa orang merasa canggung ketika harus menjalin hubungan dengan rekan baru. Untuk mengatasi kecanggungan, tak segan membagikan detail pribadi. Dengan harapan, segera menjalin kedalaman dan keintiman emosional sebelum hubungan siap.


2. Menghindari kesunyian

Banyak orang merasa canggung saat berada dalam kesunyian. Begitu juga dengan orang-orang yang merasa kesepian. Kecenderungan ini membuatnya melakukan apa saja untuk menghindarinya. Salah satunya adalah oversharing dengan harapan mereka selalu memiliki teman untuk bercerita.


3. Tidak peka dengan bahasa isyarat

Kawan bicara sudah mulai mengalihkan mata dengan memandang sekeliling, tertawa terpaksa, atau menyilangkan tangan. Inilah saat yang tepat untuk berhenti berbicara.


Orang yang kesulitan membaca isyarat sosial lebih sulit menyadari bahwa mereka terlalu banyak berbagi informasi.


4. Memiliki kecemasan sosial

Orang-orang yang bergumul dengan kecemasan sosial biasanya lebih rentan untuk oversharing. Kecemasan berada di sekitar orang lain membuatnya mulai oversharing. Hal ini dipicu rendahnya rasa percaya diri atau kebutuhan menyenangkan orang lain.


5. Kurangnya kesadaran atas batasan diri sendiri

Duduk di ruang tunggu dan bertemu orang asing. Mulai ngobrol sana-sini. Akhirnya, tanpa disadari menceritakan banyak informasi pribadi yang sebenarnya tak perlu mereka ketahui.


Ketika merasa tidak akan ada konsekuensi sosial yang bertahan lama, kecenderungan oversharing menjadi lebih tinggi.



Bahaya oversharing


Selain dapat membuat lawan bicara kita merasa tidak nyaman dan berdampak buruk terhadap kesehatan mental, oversharing yang dilakukan di media sosial juga dapat memiliki dampak berbahaya.


Saat melakukan oversharing di media sosial, dalam emosi dan nafsu yang bergejolak, terkadang tanpa berpikir panjang seseorang dapat menyebarkan informasi pribadinya, seperti lokasi tempat tinggalnya, dalam bentuk foto atau alamat. Hal tersebut tentu dapat membahayakan jika ada orang yang berniat jahat untuk mendatangi alamat tersebut.



Mengendalikan oversharing




Lirik sebuah lagu lama ini mengingatkan kita soal lidah. “Memang lidah tak bertulang. Tak terbatas kata-kata ….”


Mengapa kita tidak bisa lebih bijak dengan perkataan dan kepada siapa kita mengatakannya? Ya, ini memang sulit. Kodrat manusia untuk terhubung dengan orang lain. Namun, sering kali sedikit tekanan dalam diri membuat kita “menumpahkan” isi kepala kepada beberapa orang yang kita temui. Bisa jadi bahkan tidak kita kenal.


Begitu mulai bercerita, sulit menarik kendali dan berhenti. Karena itu, bijaksanalah dalam berperilaku. Di bawah gejolak emosi yang hebat, kita perlu segera mulai mengendalikan kecenderungan oversharing dan menyelesaikannya lebih cepat.



Stop oversharing!


Saat ingin mengatasi oversharing, jangan harap bisa berubah dalam semalam! Pertama-tama, identifikasilah hal yang memicu oversharing. Apakah itu trauma, kecemasan, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), atau gaya komunikasi yang lebih pasif.


Saat menyadari telah oversharing, berikan kepada kawan bicara untuk mengajukan pertanyaan. Tanyakan juga kepada diri sendiri, apakah oversharing itu hanya untuk meredakan perasaan tidak nyaman?


Jadi, bagaimana berhenti oversharing? Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan.


1. Dengar dan utamakan kawan bicara

Saat melakukan percakapan, dengarkan dengan niat untuk belajar daripada merencanakan bagaimana menanggapinya. Kita sering kali berpikir oversharing akan menarik perhatian kawan bicara. Padahal, yang terjadi sebaliknya. Oversharing justru bisa membuat orang lain menjauh dari kita.


Jika kita belajar mendengarkan lebih efektif dan memahami pendengar lebih dalam, kita akan mengetahui kata-kata dan jumlah kata yang tepat untuk dibagikan.


Itu sebabnya mendengarkan adalah keterampilan komunikasi yang paling penting.


2. Ingat, sedikit informasi lebih baik

Di dunia yang sibuk ini, tak banyak orang yang sanggup mendengar dan mengingat informasi Anda.


Semakin banyak informasi yang diberikan, semakin kecil mereka mengingat poin yang kita sampaikan karena tenggelam dalam lautan detail. Inilah perlunya mengetahui batasan diri atau personal boundaries Anda.


Catat kapan kemungkinan oversharing. Hal ini membantu menemukan pola sehingga tetap waspada saat berada di percakapan tertentu.


3. Buat percakapan

Berpikirlah sebelum berbicara. Pikirkan tentang manfaat bagi kawan bicara mengetahui informasi yang Anda bagikan. Kemudian, sesuaikan ceritanya agar menarik.


Oversharing mirip monolog. Orang tidak akan suka dengan monolog. Kecuali, dilakukan komedian. Kebanyakan orang ingin melakukan percakapan.


Jangan lupa jeda. Berikan kesempatan kawan bicara untuk bertanya. Jika suasana terlalu serius, ringankan dengan lelucon.


4. Temukan cara mengelola emosi

Miliki seperangkat mekanisme koping yang lebih sehat ketika merasa perlu oversharing. Misalnya, berolahraga, berjalan-jalan di taman, dan ekspresi kreatif, seperti menulis dan menggambar.


Berbagai aktivitas tersebut terbukti lebih melegakan daripada berbicara dengan seseorang yang mungkin tidak siap membantu atau menangani masalah.


Berbicaralah kepada orang yang tak hanya akan mendengarkan, tetapi melindungi privasi ketika perlu membicarakan sesuatu. Seorang terapis atau konselor dapat memutus siklus oversharing dan mengembangkan mekanisme koping yang lebih sehat sebagai gantinya.


Bagaimanapun, pengungkapan harus menjadi pilihan, bukan paksaan. Dengan bantuan terapis, Anda dapat mempelajari cara menggunakan kata-kata Anda untuk kebaikan.


Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang oversharing dan bagaimana menghentikannya, kunjungi Klinik GWS Medika, klinik kesehatan di Jakarta.

ReferensiPsychology Today. Diakses pada 2023. Three Ways Childhood Trauma Affects Adulthood. Psychology Today. Diakses pada 2024. How Set Boundaries in The Age Oversharing. Psychology Today. Diakses pada 2024. How Much Is Too Much Share Social Media. Science of People. Diakses pada 2023. How to Stop Being an Over Explainer Therapist. Verywell Mind. Diakses pada 2023. What Are The Effects of Childhood Trauma. Well and Good. Diakses pada 2023. Over Explaining Trauma.