Mengasuh Anak dengan Down Syndrome
Stephanie Handojo, anak dengan Down Syndrome. Meraih Rekor MURI karena mampu bermain piano 22 lagu tanpa henti pada 2009. Terpilih sebagai salah satu pembawa obor Olimpiade London pada 2012. “Fani tetap semangat karena dukungan dari Mama dan Papa.”
Ada berbagai stigma buruk mengenai anak dengan down syndrome. Tidak bisa apa-apa. Tidak punya masa depan. Tidak mandiri.
Orang tua mungkin merasa sedih, stres, sakit hati, dan sulit menerima kenyataan saat mengetahui anaknya down syndrome. Ketika kenyataan tak terbantahkan, ketakutan akan reaksi orang lain dan kecemasan akan masa depan menghantui mereka.
Faktanya, penelitian membuktikan ini. Walaupun persentasenya kecil, 5% dari 2.044 responden mengaku merasa malu memiliki anak dengan down syndrome.
Down syndrome adalah anugerah
Down syndrome adalah kelainan genetik. Terjadi ketika anak lahir dengan memiliki kelebihan kromosom. Salinan ekstra dari kromosom 21. Kondisi ini membuat anak mengalami keterlambatan perkembangan (fisik, motorik, kognitif) dan penampilan fisik yang berbeda.
Siapa pun dapat memiliki kemungkinan down syndrome. Tidak ada bukti pengaruh kondisi sosial-ekonomi, ras, atau tempat tinggal. Namun, ada berbagai faktor yang dipercaya meningkatkan risiko bayi lahir dengan kondisi ini. Misalnya, ibu berusia di atas 35 tahun atau riwayat genetik (anggota keluarga lain dengan down syndrome).
Sampai saat ini, belum diketahui cara mencegah down syndrome. Namun, calon orang tua dapat mengetahuinya melalui tes kesehatan. Biasanya, konseling dapat dilakukan sebelum masa kehamilan untuk berkonsultasi dengan dokter. Selain itu, serangkaian tes kesehatan selama masa kehamilan dapat mendeteksi kemungkinan down syndrome.
Down syndrome bukanlah penyakit langka. Menurut data WHO pada 2022, down syndrome terjadi pada 1 dari 1.000 kelahiran. Setiap tahun, sekitar 3.000 hingga 5.000 anak lahir dengan kondisi down syndrome.
Bagaimana di Indonesia? Belum ada data jumlah pasti. Namun, hasil Riset Kesehatan Dasar pada 2018 mengatakan kasus down syndrome di Indonesia cenderung meningkat.
Down syndrome adalah kondisi seumur hidup. Anak dengan down syndrome sama dengan anak-anak lain. Mereka juga belajar, serta memiliki hal yang disukai dan cita-cita.
Memang, mereka membutuhkan waktu lebih lambat untuk berkembang dan belajar. Bukan berarti mereka tak bisa. Selain itu, studi menunjukkan anak dengan down syndrome juga mampu mengenali emosi dan memahami ekspresi orang lain.
Syukurlah. Ada peningkatan harapan hidup anak-anak dengan down syndrome. Pada 1960, rata-rata anak dengan down syndrome tidak dapat merayakan ulang tahun ke-10. Saat ini, harapan hidup mereka bisa mencapai usia 50–60 tahun! Luar biasa.
Tentu, hal ini tidak terjadi begitu saja. Dukungan orang tua, tenaga profesional, dan orang-orang terdekat berperan penting mewujudkannya.
Anak down syndrome bisa berprestasi
Stephanie Handojo adalah bukti nyata anak dengan down syndrome berprestasi. Fani bukan satu-satunya. Ada Samuel Santoso, pelukis hebat. Model cantik Namira Zania Siregar. Dan, masih banyak lagi!
Dra. Aisah Indati, M.S., Psikolog Anak Berkebutuhan Khusus, mengatakan orang tua adalah kunci kemandirian anak dengan down syndrome. Penerimaan dan keikhlasan orang tua mendukung anak bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Nini Andrini, ibu Namira, mendukung kebutuhan anaknya dengan mengenali talenta yang ia miliki. Misalnya, saat ia tahu Namira suka menari, ia berusaha mencarikan sekolah tari yang bisa membantu anaknya belajar menari. Delapan tahun berlalu, sekarang, Namira menjadi asisten guru tari bagi kelas anak-anak berkebutuhan khusus.
Dukung anak dalam berbagai kesempatan
Berikan kesempatan kepada anak untuk belajar mandiri. Misalnya, membuat rutinitas kegiatan anak dan mendorong mereka mematuhinya. Tanamkan juga nilai-nilai positif, agar anak melihat dunia dengan positif dan bersosialisasi dengan baik.
Saat anak mempelajari sesuatu dan melakukan kesalahan, daripada berkata “itu salah”, katakan “coba lagi” dan beri tahukan informasi yang benar.
Luangkan waktu untuk melakukan aktivitas bersama, seperti bermain, membaca, atau berjalan-jalan. Hal ini membantu Anda mengenali minat dan bakat anak.
Anak mungkin mengikuti serangkaian terapi, seperti terapi fisik, terapi wicara, terapi kerja, terapi perilaku, dan terapi okupasi. Berilah dukungan agar ia semangat menjalani terapinya.
Bergabunglah dalam komunitas
Menjadi orang tua anak dengan down syndrome adalah pengalaman hidup mulia. Sedikit klise, tapi benar adanya. Tentu sangat sulit bila buah hati dalam kondisi ini.
Ikhlas dan menerima adalah selanjutnya. Si Kecil lahir dengan kondisi down syndrome bukan kesalahan Anda. Hindari menyalahkan diri sendiri.
Aktivitas orang tua dengan anak down syndrome pasti berbeda dengan orang tua lain. Selain aktivitas sehari-hari, Anda perlu rutin mengunjungi dokter atau terapis.
Di sela-sela kesibukan ini, berilah perhatian kepada diri sendiri. Ajak orang-orang terdekat, seperti teman dan keluarga untuk ikut serta mengasuh anak. Dengan demikian, Anda punya waktu sendiri. Lakukan sesuatu yang disukai. Menonton video lucu, misalnya.
Berceritalah kepada orang yang dipercaya. Dengan berbagi cerita, setidaknya Anda mengurangi beban yang tersimpan.
Berbicara dengan orang tua lain yang memiliki anak dengan down syndrome. Komunitas Peduli Down Syndrome (KPDS) dan Persatuan Orang Tua Anak Dengan Down Syndrome (POTADS) adalah beberapa komunitas yang bisa diikuti. Berbagi kekhawatiran, berbagi informasi, dan saling menguatkan.
Mengasuh anak dengan down syndrome bukan hal mudah. Ada saatnya Anda merasa lelah dan putus asa. Beri dukungan kepada anak dan diri sendiri.