Menangkal Stigma Pada Pengidap Tuberkulosis

oleh Agnes Krisantibullet
Bagikan artikel ini
Ditinjau oleh dr. Koh Hau-Tek
Menangkal Stigma Pada Pengidap Tuberkulosis
Menangkal Stigma Pada Pengidap Tuberkulosis

“TBC adalah masalah besar. Namun, stigma (terhadap penyakit ini) masih sulit dihilangkan,” ujar Najwa Shihab. TBC bisa menimpa siapa saja. Bahkan mereka yang sudah cukup teredukasi. Selama penyembuhan, pasien TBC sangat memerlukan dukungan, bukan penghindaran.

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit lama. Pertama kali tercatat di India sekitar 3.300 tahun lalu. Sementara, di Tiongkok, 2.300 tahun lalu. Pada zaman Yunani Kuno, TBC disebut “phthisis”. Sekitar tahun 1700-an, orang-orang menyebutnya “wabah putih” karena penderitanya tampak pucat pasi.


Pada 24 Maret 1882, dr. Robert Koch mengumumkan bakteri penyebab TBC. Mycobacterium tuberculosis. Saat itu, 1 dari 7 orang yang tinggal di Amerika (dan Eropa) meninggal akibat TBC. Setelah penantian panjang, vaksin BCG akhirnya ditemukan pada 1921.



Tuberkulosis, penyakit menular akibat infeksi bakteri


Mycobacterium tuberculosis biasanya menyerang paru-paru. Penelitian lanjutan membuktikan bakteri ini juga bisa menyerang bagian tubuh lain. Misalnya, ginjal, tulang belakang, dan otak. Penularan TBC umumnya melalui droplet. Percikan ludah saat bersin atau batuk.


Ada dua kondisi yang mungkin terjadi pasca-infeksi. Penyakit TBC, jika sistem imun tidak bisa menahan aktivitas bakteri. Infeksi TBC laten, jika sistem imun cukup kuat sehingga infeksi tidak menimbulkan gejala atau sakit. Sistem imun yang tidak mampu menghancurkan tuntas bakteri, memungkinkan perkembangan infeksi TBC laten menjadi penyakit TBC.


Gejala penyakit TBC berbeda, tergantung organ yang terinfeksi. Penyakit TBC paru-paru umumnya diawali batuk-batuk selama 3 minggu atau lebih, sakit di dada, dan batuk berdahak atau berdarah.


Gejala lain berupa kelelahan, turun berat badan, tidak selera makan, keringat dingin, dan demam.


Faktor risiko TBC, meliputi kekurangan gizi, infeksi HIV, kebiasaan merokok, dan diabetes. Bahkan jika sudah divaksin, pastikan sistem imun senantiasa kuat, terutama saat banyak bekerja.


Bagi wanita hamil, hati-hati! Lakukan pemeriksaan menyeluruh jika memiliki riwayat kontak dengan penderita TBC.



Pandemi COVID-19 memperburuk penanganan tuberkulosis


Berdasarkan WHO, pandemi COVID-19 menghambat diagnosis dan penanganan TBC. Target global pun tidak tercapai. Meski Indonesia masuk tiga besar negara yang berhasil turunkan jumlah kasus baru TBC, beban TBC secara global masih terus meningkat.


Hingga artikel ini ditulis, ada hampir 969 ribu kasus TBC secara global. Di antaranya, 144 ribu orang meninggal. Disebut juga dalam laporan WHO, mayoritas penderita TBC adalah orang dewasa (90%). Laki-laki lebih banyak daripada perempuan.


Di Indonesia, Menteri Kesehatan RI, Budi Sadikin, menyatakan dugaannya akan sekitar 824 ribu kasus TBC. Tanpa penanganan tepat, TBC dapat menyebabkan kematian (sekitar 50%). Apalagi jika penderitanya juga mengidap HIV/AIDS. Karena itu, beliau meminta 90% dari jumlah tersebut bisa terdeteksi di 2024.


Menkes mengusulkan strategi surveilans yang baik dan benar. By name. By address. Sama seperti saat pencatatan COVID-19. Dengan protokol baru yang telah dibuat Kemkes dan dana Global Fund, beliau mengharapkan pendeteksian TBC menjadi fokus utama hingga 2024 nanti.


Pandemi COVID-19 menurunkan kemampuan sistem kesehatan dalam menyediakan layanan TBC. Terutama saat karantina wilayah (lockdown) dan PPKM diterapkan. Selain kekhawatiran akan penularan COVID-19, stigma terkait kesamaan gejala antara TBC dan COVID-19 juga menghantui masyarakat.



Stigma TBC perlu ditangkal




Stigma memengaruhi pandangan. Membuat seseorang enggan memeriksakan diri. Akibatnya, penemuan kasus baru menjadi lebih sulit. Kondisi pasien pun relatif memburuk karena stigma menghambat pemenuhan hak pasien atas layanan kesehatan.


Simak ilustrasi berikut!


Budi adalah karyawan perusahaan X. Ia bekerja sangat keras sampai tidak memperhatikan kesehatannya. Awalnya, ia batuk-batuk. Setelah sebulan, batuk makin parah. Dadanya sakit. Ia juga makin kurus.


Salah satu rekan Budi berkelakar Budi mungkin terkena TBC. Namun, gurauan itu rupanya membuat yang lain menjauhi Budi. Mereka takut tertular. Takut dijauhi. Takut dipecat. Perlakuan lingkungan membuat Budi enggan periksa. Akhirnya, sampailah ia di titik parah TBC. Penyembuhan pun makin sulit.


Budi menerima dua perlakuan. Stigmatisasi dan diskriminasi. Oleh para rekan, ia mungkin dicap “penyakitan” atau “bawa sial” sehingga perlu dijauhi. Perilaku ini tidak memberi manfaat apa pun sehingga perlu ditangkal. Demi pemulihan pasien. Demi kemaslahatan bersama.


Memperkaya pengetahuan. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Membantu mengedukasi orang-orang sekitar. Itu adalah cara menangkal stigma. Kurangnya informasi dan edukasi merupakan penyebab utama munculnya stigma.


Pemerintah Indonesia telah berusaha menangkal stigma TBC melalui beberapa kebijakan yang dibuat sebagai alat untuk advokasi (pembelaan). Misalnya, Pasal 12 Rancangan Peraturan Presiden TBC terkait stigma. Setiap pasien TBC dalam menjalani pengobatan berhak mendapat perlindungan terhadap stigma dan diskriminasi terkait penyakitnya. 


Jika pemerintah Indonesia berkomitmen mencapai eliminasi TBC dengan target 65/100.000 kasus baru dan 6/100.000 kematian akibat TBC, kita pun harus mendukung dengan melakukan yang kita bisa. Misalnya, turut mengawal kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Selebihnya, menjaga diri sendiri dan orang-orang di sekitar.


TBC penyakit mematikan. Namun, dapat dicegah dengan vaksin BCG dan menjaga kebersihan. TBC juga dapat disembuhkan dengan penanganan dan pemberian obat anti-TBC selama 4—6 bulan. Penting juga memberikan dukungan untuk meringankan beban.

ReferensiCDC. Diakses pada 2023. Basic TB facts. CDC. Diakses pada 2023. TB: Sign and Symptoms Kementrian Kesehatan RI. Diakses pada 2023. Free TBC at Workplaces. Kementrian Kesehatan RI. Diakses pada 2023. Tuberkulosis pada Kehamilan. Kementrian Kesehatan RI. Diakses pada 2023. TB Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Diakses pada 2023. Menkes Minta 90 Penderita Dapat Terdeteksi di Tahun 2024. WHO. Diakses pada 2023. Global Tuberculosis Report.