GWS Medika Berkolaborasi dengan KKLP FK UI Adakan Seminar “Tata Laksana Terkini Infeksi Saluran Kemih dalam Layanan Primer”

oleh Kristihandaribullet
Bagikan artikel ini
Ditinjau oleh
GWS Medika Berkolaborasi dengan KKLP FK UI Adakan Seminar “Tata Laksana Terkini Infeksi Saluran Kemih dalam Layanan Primer”
GWS Medika Berkolaborasi dengan KKLP FK UI Adakan Seminar “Tata Laksana Terkini Infeksi Saluran Kemih dalam Layanan Primer”

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan masalah kesehatan yang umum, terutama bagi wanita dan lansia. Gejalanya sering kali tidak terlihat, sehingga berisiko komplikasi jika tidak ditangani dengan tepat.

Bertempat di ballroom Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta, pada Sabtu (20/7), GWS Medika bekerja sama dengan Kedokteran Keluarga Layanan Primer Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengadakan seminar kesehatan bertajuk “Tata Laksana Terkini Infeksi Saluran Kemih dalam Layanan Primer”.




Seminar ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Dr. dr. Trevino Aristarkus Pakasi, M.S, dokter spesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan dr. Dewi Friska, MKK, SP.KKLP, staf pengajar dari Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, dan koordinator penelitian dan pengabdian masyarakat Fakultas Kedokteran UI.


dr. Hadiyanto, MKM., Sp.KKLP (Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) Cabang Jakarta dan Dr. dr. Dhanasari Vidiawati, M.Sc., CM-FM., Sp.KKLP (Ketua Program Studi Spesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer FKUI) yang diwakili oleh Prof. dr. Indah S. Widyahening, MS, MSc-CMFM, Sp.KKLP, Ph.D. (Sekretaris Program Studi Spesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer FKUI) hadir memberikan sambutan dalam acara ini.


Acara ini dihadiri oleh Persatuan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) Cabang Jakarta, spesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer FKUI, PPDS, serta dr. John Wang dari PanAsia Surgery Group dan dr. Edward Cheong dari Parkway Cancer Center (PCC) Singapura.



Penatalaksanaan ISK


Dr. dr. Trevino Aristarkus Pakasi, M.S, dalam paparannya menyampaikan bahwa saat ini adalah era kolaborasi. Layanan primer, seperti klinik pratama dan utama, serta praktik mandiri, sebaiknya bekerja sama dengan puskesmas untuk meningkatkan pencegahan dan penatalaksanaan ISK, terutama bagi kelompok berisiko tinggi.




Layanan ini mudah diakses oleh masyarakat dan dapat menjangkau semua usia dan jenis kelamin.


"Fokus utama kita adalah di klinik pratama, puskesmas, dan praktik mandiri," jelasnya. "Di sini, kita dapat menjangkau pasien dengan lebih mudah, serta memberikan edukasi dan pencegahan ISK yang tepat."


Pencegahan ISK dimulai dari orang sehat. Wanita dan lansia perlu mendapatkan edukasi tentang cara mencegah ISK meskipun gejalanya tidak selalu terlihat.


"Edukasi ini penting untuk semua kelompok usia, dari ibu dan anak, anak dan remaja, usia produktif, hingga usia lanjut," ujar Dr. dr. Triveno.


Beliau menekankan pentingnya memanfaatkan pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan untuk menatalaksana ISK.


"Pedoman ini dapat dijadikan sebagai SOP (Standard Operating Procedure) di klinik pratama," jelasnya. "Dengan menerapkan pedoman yang tepat dan bekerja sama dengan puskesmas, kita dapat meningkatkan efektivitas penanganan ISK."



Penanganan komprehensif dan edukasi pencegahan ISK


Pembicara kedua, dr. Dewi Friska, MKK, SP.KKLP, staf pengajar dari Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, dan koordinator penelitian dan pengabdian masyarakat Fakultas Kedokteran UI. Beliau berbicara tentang penanganan komprehensif dan edukasi pencegahan ISK dalam keluarga dan layanan primer.


Angka kejadian ISK cukup tinggi dan terjadi pada populasi rentan, yaitu anak dan usia lanjut terutama wanita. Umumnya disebabkan bakteri E.coli.


Kejadian ISK sangat dipengaruhi berbagai hal, seperti pola hidup bersih dan sehat, minum cukup cairan. Tata laksananya juga memiliki banyak pendekatan. Tidak hanya dari sisi obat-obatan, tetapi juga harus memikirkan tata laksana yang komprehensif, yang dimulai dengan pencegahan.




“150 juta kasus ISK di seluruh dunia, dan wanita memiliki risiko dua kali lebih tinggi mengalami ISK dibanding pria. 50% wanita mempunyai episode penyakit ISK sebelum berusia 35 tahun. Bisa ISK ringan, sedang, atau berat. 70% wanita setidaknya mengalami satu kali ISK, dan 30% biasanya akan mengalami ISK berulang,” jelas dr. Dewi.


Wanita menopause dan lansia merupakan kelompok rentan karena memiliki faktor risiko, seperti inkontinensia urine dan faktor hormonal. Namun, wanita muda dan premenopause juga memiliki faktor risiko karena faktor perilaku dan aktivitas, seperti hubungan seksual, penggunaan spermasida, dan pasangan seksual baru.


Beliau menekankan bahwa semua kelompok umur, dari anak hingga lansia dapat memiliki risiko terkena ISK. “Peran dokter di layanan primer sangat penting karena merupakan garda terdepan. Nanti dikaitkan dengan edukasi ISK, misalnya bagaimana membersihkan area setelah berkemih termasuk kecukupan minum,” lanjutnya.


Pada usia produktif, ISK bisa terjadi karena sering menunda buang air kencing. Kenyamanan toilet juga menjadi salah satu hal penting selain produktivitas tinggi.


Gejala ISK bervariasi, dari demam, nyeri di area pinggang, sering buang air kecil, tidak bisa menahan air kencing, urine berwarna keruh atau kemerahan, mual, muntah, hingga penurunan berat badan terutama pada usia lanjut.


Derajat keparahan juga bervariasi jika tidak ditata laksana, dicegah, dan dideteksi dengan baik sejak awal.


“Pemeriksaan gejala tidak hanya dari diagnosis, tapi dengan USG atau urinalisis. Saat menyarankan pasien melakukan urinalisis (cek urine lengkap), kita sebaiknya memberi tahu pasien untuk mengeluarkan urinenya sedikit, jangan ditampung, setelah keluar sedikit baru ditampung. Hal ini supaya tidak terjadi kontaminasi bakteri,” dr. Dewi menambahkan.


Mengakhiri sesi ini, dr. Dewi menekankan,”Layanan primer memiliki peran yang sangat penting. Kita perlu memahami kapan perlu merujuk dan melakukan tata laksana komprehensif yang patient-centered, family focused, dan community oriented.”